Tidakbertaklid pada seorangpun, tidak dalam masalah ushul (pokok), dan tidak dalam masalah furu’. Beliau berputar bersama kebenaran yang berdasar pada ijtihadnya. Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj ini pula beliau mengarang kitab aqidah yang masyhur (yakni Aqidah Ath-Thahawiyah, pen.). Sangat memperhatikan apa yang beliau
1 Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip) Masalah ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih
Judulkitab : At-Tamhid Fi Takhrijil Furu' Alal Ushul. Penulis : Imam Jamaluddin Abu Muhammad Abdurrohim bin Al-Hasan Al-Isnawi. Muhaqqiq : Dr. Muhammad Hasan Haitu. Penerbit : Mu'asssisah Ar-Risalah, Beirut - Lebanon.
Vay Tiền Nhanh. Segala Nan Dimaksud Ilmu Ushul dan Furu’? Sidang pembaca yang memiliki akhlaq indah berikut kami sajikan apa yang dimaksud ilmu ushul dan furu’? Selamat membaca. Pertanyaan Apakah yang dimaksud keburukan furu’ dalam hakikat fiqih ialah mengenal hukum-hukum syar’i salam ki kesulitan furu’? Ditanyakan oleh Santri Khotbah Selam Online Mahad BIAS Jawaban Bismillah. Sebagai halnya yang sudah banyak di berjalan dan dipergunakan oleh para cerdik pandai di dalam menjatah cabang mantra, yakni Ushul dan Furu. Ushul masuk di dalamnya hobatan akidah dan ilmu ushul, dan menempatkan masalah-ki aib aji-aji fiqih sebagai hobatan furu` cabang. Mereka memberi pembagian ini berdasarkan pertimbangan, bahwa permasalahan yang ada udzur bersumber kesalahannya ibarat ilmu Furu dan nan enggak ada udzur dari kesalahannya disebut sebagai mantra ushul. Keabsahan pembagian syariah menjadi ushul dan Furu` sebagaimana di atas telah ditentang dan dikritisi makanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim serta para ulama yang lain. Mereka berpendapat bahwa pendistribusian tersebut belum pernah ada pada masa Utusan tuhan maupun masa sahabat, bahkan beliau bermula Mu`tazilah dan semisalnya dari ahlul bid`ah, karena aji-aji syariat semuanya gerendel, enggak ada taktik maupun simpang, semuanya penting. Dari pengingkaran terhadap permasalahan keduanya semua bisa menjadikan seseorang keluar berusul agama bila mengingkarinya. Dan sebagainya dari hujjah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam. Silahkan baca sendang berikut Majmu fatawa 346 -347, 13/126, minhaj sunnah 5 48 – 95, Majmu fatawa 6/56 -57 Sahaja sebagian para cerdik pandai tetap berpendapat, bahwa pembagian hobatan ushul dan furu` hanya sebagai pembagi semenjak ilmu nan suka-suka berusul ulum syar`i tanpa meredam emosi identitas dan konsekuensi bermula keduanya. Sehingga pembagian ilmu syar`i dengan ilmu ushul dan ilmu furu` diperbolehkan secara istilah. Wallahu a`lam. Dijawab dengan ringkas oleh Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله Jumat, 20 Ramadan 1443 H/ 22 April 2022 M Ustadz Mu’tashim Lc., Dewan interviu DidikanSelam Bias, alumus Perkumpulan Islam Madinah syarah Syariah dan MEDIU Cak bagi mengaram artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., حفظه الله klik di sini
Para pembaca yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan artikel tentang apakah bolehkan berbeda pandangan dalam masalah akidah. Selamat membaca. 1. Pengertian Akidah Secara bahasa akidah berasal dari kata عَقَدَ yang bermakna ikatan yang kuat. Maqayis Lughah Hal. 587. Sedangkan akidah berarti sesuatu yang terikat atau tertanam kuat dalam hati. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda لا يَعْتَقِدُ قَلْبُ مُسْلِمٍ عَلى ثَلاثِ خِصالٍ، إلّا دَخَلَ الجَنَّةَ “Jika seorang meyakini tiga perkara, dia pasti masuk surga.” Zaid bin Tsabit bertanya, apakah tiga hal tersebut? Rasulullah ﷺ bersabda إخلاص العمل، والنصيحة لولاة الأمر، ولزوم الجماعة، فإن دعوتهم تحيط من وراءهم “Ikhlas dalam beramal, memberikan nasihat kepada para pemimpin, dan tetap bersama jama’ah kaum muslimin. Sesungguhnya doa kaum muslim senantiasa mengelilingi mereka.” HR. Darimi no. 235. Adapun secara istilah yang dikenal sekarang, akidah adalah ketetapan dan pengakuan hati dalam hal yang berkaitan dengan pembahasan iman, tauhid, kenabian dan hal yang ghaib. 2. Hukum Berbeda Pendapat dalam Permasalahan Agama Hukum berbeda pandangan atau pendapat ikhtilaf dalam permasalahan agama, tidak bisa kita sama ratakan di setiap pembahasan. Kita tidak bisa mengatakan, tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah agama secara mutlak dan kita juga tidak bisa mengatakan boleh berbeda pendapat dalam setiap pembahasan agama, namun harus dirinci terlebih dahulu kapan boleh dan kapan tidak bolehnya. Perbedaan pendapat dalam permasalahan agama terbagi menjadi dua 1. Perbedaan pendapat yang dibolehkan khilaf mu’tabar 2. Perbedaan pendapat yang terlarang khilaf ghairu mu’tabar. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair وليس كل خلاف جاء معتبرًا إلا خلاف له حظ من النظر Tidak semua ikhtilaf itu bisa diakui Kecuali ikhtilaf yang memiliki sudut pandang yang kuat Mengetahui apakah sebuah ikhtilaf dan perbedaan pendapat masuk dalam kategori dibolehkan atau tidak adalah dengan melihat kepada tiga komponen 1. Orang yang berbeda pendapat, apakah dia seorang ahli atau bukan. 2. Perbedaan pendapat tersebut dibangun di atas dasar pendalilan yang benar atau dasar pendalilan yang keliru. 3. Masalah yang diperselisihkan masuk ke dalam ranah pembahasan yang dibolehkan untuk berijtihad masail ijtihadiyyah atau masuk dalam ranah pembahasan yang sudah pasti dan tidak dibuka pintu ijtihad di dalamnya. Dari tiga poin di atas, kita bisa menentukan kapan perbedaan pendapat dibolehkan dalam masalah agama, dan kapan tidak dibolehkan. Perbedaan pendapat dalam permasalahan agama dibolehkan, apabila memenuhi 3 syarat • Orang yang berbeda pendapat adalah para ulama mujtahidin. • Pendapat tersebut dibangun di atas dasar pendalilan yang benar dan diterima oleh syariat. • Masalah yang diperselisihkan adalah pembahasan ijtihadiyyah. Perbedaan pendapat dalam permasalahan agama tidak diperbolehkan, apabila • Orang yang menyelisihi sebuah pendapat adalah orang awam atau muqallid. • Pendapat tersebut dibangun di atas dasar pendalilan yang keliru. • Masalah yang diperselisihkan adalah masalah yang sudah pasti dan tidak ada lagi celah untuk berijtihad. Lihat Qanun Ta’sis Aqdy 258 – 259. 3. Hukum Perbedaan Pendapat dalam Masalah Akidah Hukum permasalahan akidah sama dengan permasalahan lainnya dalam masalah agama, tidak ada perbedaan. Merupakan sebuah kekeliruan ketika ada yang menyatakan tidak bolehnya berbeda pendapat dalam masalah akidah dan boleh berbeda pendapat dalam masalah amalan fikih. Sebagian orang menamakan masalah akidah dengan perkara ushul pokok sedangkan perkara fikih dinamakan perkara furu’ cabang, lalu mereka membangun kekeliruan berdasarkan pembagian ini, dengan menyatakan tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah ushul akidah. Ibnu Taimiyyah telah membantah kekeliruan dalam penamaan masalah akidah dengan ushul pokok dan amalan fikih dengan furu’ cabang, beliau berkata أنَّ المَسائِلَ الخَبَرِيَّةَ قَدْ يَكُونُ بِمَنزِلَةِ المَسائِلِ العَمَلِيَّةِ؛ وإنْ سُمِّيَتْ تِلْكَ مَسائِلَ أُصُولٍ» وهَذِهِ مَسائِلَ فُرُوعٍ» فَإنَّ هَذِهِ تَسْمِيَةٌ مُحْدَثَةٌ قَسَّمَها طائِفَةٌ مِن الفُقَهاءِ والمُتَكَلِّمِين؛ وهُوَ عَلى المُتَكَلِّمِينَ والأُصُولِيِّينَ أغْلَبُ؛ لا سِيَّما إذا تَكَلَّمُوا فِي مَسائِلِ التَّصْوِيبِ والتَّخْطِئَةِ. “pembahasan khabariyyah akidah terkadang sama kedudukannya dengan masalah amaliyah fikih, walaupun ada yang menamakan pembahasan akidah itu dengan ushul pokok dan pembahasan fikih dengan furu’ cabang. Penamaan ini adalah penamaan yang dibuat oleh para sekelompok orang dari ahli fikih dan ahli kalam, kebanyakan yang menggunakan istilah ini adalah para ahli kalam dan ushul fikih, terlebih ketika mereka membahas benar atau salahnya seorang mujtahid.” Majmu’ Fatawa 7/56. Kemudian, beliau menjelaskan pembagian yang tepat untuk pembahasan ushul dan furu’ ini, beliau berkata بَلْ الحَقُّ أنَّ الجَلِيلَ مَن كُلِّ واحِدٍ مِن الصِّنْفَيْنِ مَسائِلُ أُصُولٍ» والدَّقِيقَ مَسائِلُ فُرُوعٍ» “pembagian yang tepat adalah setiap masalah yang sudah jelas dari dua jenis pembahasan tersebut akidah maupun fikih masuk dalam perkara ushul, sedangkan perkara yang pelik dari kedua pembahasan tersebut masuk dalam furu’.” Majmu’ Fatawa 7/56. Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa perkara yang sudah jelas dan tidak ada lagi celah untuk berijtihad masuk dalam perkara ushul pokok, baik itu perkara akidah maupun amalan fikih, tidak dibenarkan berbeda pendapat dalam masalah ini. Contoh pembahasan akidah yang sudah jelas adalah keberadaan Allah, Allah memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan kemuliaanNya, masalah tauhid dan lainnya. Contoh pembahasan amalan fikih yang sudah jelas adalah kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dan semisalnya. Begitupula, perkara yang pelik dan tidak ada dalil yang jelas dan pasti dalam pembahasannya, sehingga para ulama mujtahid pun berijtihad menggunakan dalil-dalil yang ada dan dengan dasar pendalilan yang diakui dalam syariat untuk mencari hukumnya, baik dalam masalah akidah maupun masalah amalan fikih, ini masuk dalam kategori furu’ yang memungkinkan untuk berbeda pendapat di dalamnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata والقول بان العقيدة ليس فيها خلاف على الإطلاق غير صحيح، فإنه يوجد من مسائل العقيدة ما يعمل فيه الإنسان بالظن “Pernyataan bahwa tidak ada perbedaan dalam masalah akidah tidaklah benar, karena ada pembahasan-pembahasan akidah yang diamalkan berdasarkan dugaan kuat bukan sesuatu yang pasti.” Syarh Aqidah Assafariniyyah, hal. 308. 4. Contoh Perbedaan Pendapat Para Ulama Salaf dalam Masalah Akidah Untuk menguatkan apa yang telah kami utarakan di atas, kami akan memaparkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang mana perbedaan pendapat tersebut tidak menjadikan sebab untuk menyesatkan yang lain. a. Apakah syirik kecil sama hukumnya dengan syirik besar dalam hal ampunan? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah apakah syirik kecil seperti riya’ masuk dalam ayat ﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُۚ …..٤٨ ﴾ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. ……” QS. An-Nisa’ 48. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat tersebut hanya membahas syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari islam, sedangkan syirik kecil masuk dalam kehendak Allah, kalau ingin Allah adzab kalau tidak, Allah ampuni. Syaikh bin Baz berkata أما الشرك الأصغر فهو أكبر من الكبائر، وصاحبه على خطر عظيم، لكن قد يمحى عن صاحبه برجحان الحسنات “Adapun syirik kecil, maka dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya, pelakunya berada dalam bahaya. Namun, bisa saja dosanya dihapuskan dengan banyaknya pahala.” Majmu’ Fatawa ibnu Baz 1/48. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa syirik kecil masuk dalam keumuman ayat yang dosanya tidak diampuni, walaupun pelakunya masih dianggap sebagai seorang muslim. Syaikh Utsaimin berkata الشرك لا يغفر ولو كان أصغر، بخلاف الكبائر؛ فإنها تحت المشيئة “Dosa syirik tidak akan diampuni walaupun syirik kecil, berbeda halnya dengan dosa-dosa besar selainnya, sesuai dengan kehendak Allah.” Alqoulul Mufid 1/173. b. Hukum memakai tamimah berupa tulisan ayat alquran dan dzikir. Sebagian berpendapat bolehnya memakai tamimah dari ayat alquran sebelum turunnya musibah, ini pendapat Abdullah bin Amr bin Ash, sebagian lagi membolehkan setelah musibah melanda dan ini adalah pendapat Aisyah, dan sebagian lagi melarang secara mutlak dan ini adalah pendapat Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas. Qanun Ta’sis Aqdy, Hal 263. Dan masih banyak lagi contoh perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam masalah akidah yang bersifat zhanny tidak pasti, yang tidak mungkin kita bawakan satu persatu. Dan kita tutup pembahasan ini dengan membawakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah وتَنازَعُوا فِي مَسائِلَ عِلْمِيَّةٍ اعْتِقادِيَّةٍ كَسَماعِ المَيِّتِ صَوْتَ الحَيِّ وتَعْذِيبِ المَيِّتِ بِبُكاءِ أهْلِهِ ورُؤْيَةِ مُحَمَّدٍ ﷺ رَبَّهُ قَبْلَ المَوْتِ مَعَ بَقاءِ الجَماعَةِ والأُلْفَةِ. “Mereka para shahabat berbeda pendapat dalam masalah akidah, seperti apakah mayat bisa mendengar suara orang yang masih hidup, apakah mayat dihukum disebabkan tangisan keluarganya, apakah Muhammad ﷺ telah melihat Allah sebelum beliau ﷺ meninggal, kendati demikian persatuan dan perdamaian mereka tetap terjaga.” Majmu’ Fatawa 19/123. Dijawab dengan ringkas oleh Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله Senin, 7 Jumadil Akhir 1443 H/10 Januari 2022 M Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember ilmu hadits, Dewan konsultasi Bimbingan Islam Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى klik disini
Uploaded byGalih 0% found this document useful 0 votes199 views11 pagesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsPPTX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document0% found this document useful 0 votes199 views11 pagesUshul Dan FuruUploaded byGalih Full descriptionJump to Page You are on page 1of 11Search inside document You're Reading a Free Preview Pages 6 to 10 are not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
ushul dan furu dalam aqidah